Sabtu, 11 Januari 2014

MENGENAL BUAH DENGAN AROMA NANO – NANO MATOA ( Pometia pinnata )



 

MENGENAL BUAH DENGAN AROMA NANO – NANO
MATOA ( Pometia pinnata )




A.           Latar Belakang
Matoa (Pometia pinnata Frost) merupakan salah satu pohon penghasil buah asli Papua. Buah matoa mempunyai citarasa yang khas dengan bentuk buah yang mirip buah lengkeng sehingga matoa dikenal masyarakat luar Papua sebagai lengkeng Papua. Dengan keunggulan citarasanya tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No.160/Kpts/SR.120/3/2006, matoa Papua telah ditetapkan sebagai varitas buah unggul yang patut dibudidayakan.  Meskipun dikenal memiliki citarasa yang khas dan harganya cukup mahal sejauh ini matoa belum dibudidayakan secara intensif. Buah yang diperjualbelikan di pasar lokal berasal dari pohon yang tumbuh secara alami di kebun masyarakat atau kawasan hutan sehingga ketersediaannya terbatas dengan kualitas buah yang beragam. Apalagi sebagian masyarakat memanen buah matoa dengan menebang pohonnya sehingga dari waktu ke waktu ketersediaan pohon penghasil buah semakin berkurang. Di lain pihak, kelezatan buah matoa yang khas semakin banyak peminatnya, bahkan sampai ke luar daerah Papua. Semakin tersedianya sarana transportasi antar pulau semakin memudahkan distribusi buah matoa ke luar Papua. Memperhatikan berbagai hal tersebut buah matoa dinilai cukup potensial untuk dikembangkan dan dibudidayakan sebagai buah unggulan lokal Papua. Selain menyediakan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat, budidaya juga akan menunjang kelestarian pohon matoa. 

B.            Persyaratan Bibit yang bagus
Budidaya matoa dinilai berhasil bila pohon yang ditanam tumbuh dan berbuah secara maksimal dengan kualitas buah yang maksimal pula. Untuk mencapai hal tersebut maka bibit yang ditanam harus berasal dari induk yang produktif dengan karakteristik buah unggul, ditanam di lokasi dengan kondisi lingkungan yang sesuai syarat tumbuhnya, dan diberi perlakuan yang memadai sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan berproduksinya. Secara umum dikatakan bahwa fenotip suatu individu tanaman ditentukan oleh sifat genotip dan lingkungan tumbuhnya. Teori Toleransi Good menyatakan bahwa setiap spesies tanaman hanya dapat hidup dan berkembang biak pada kisaran kondisi lingkungan tertentu, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh adalah iklim, tanah, dan biologis (Barbour, Burk, dan Pitts, 1980). Perlakuan dimaksudkan untuk memanipulasi kondisi lingkungan dan mengarahkan proses fisiologis tanaman sehingga optimal bagi pertumbuhan dan perkembangannya agar dapat tumbuh dan berproduksi secara maksimal
Pengembangan matoa sebagai komoditas buah unggulan lokal akan berperan positif bagi ekonomi masyarakat bila kegiatan tersebut melibatkan masyarakat secara aktif, yaitu masyarakat sebagai pelaku utama pembudidayaan matoa di lahan mereka. Pengembangan matoa oleh masyarakat akan berhasil bila teknik budidaya yang dikembangkan dapat mereka terapkan. Oleh karena itu teknik budidaya yang dikembangkan harus sesuai dengan nilai dan kapasitas teknologi masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian tentang ekologi tempat tumbuh matoa, karakter fenotipik matoa pada berbagai kondisi lingkungan tumbuh dan tipe buah yang dihasilkan, nilai ekonomi matoa bagi masyarakat, dan teknik budidaya matoa yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Berdasarkan informasi tersebut dapat ditentukan jenis matoa unggul, tempat penanaman dengan lingkungan tumbuh yang sesuai dengan syarat tumbuhnya, dan mendesain teknik budidaya yang lebih baik serta dapat diterima dan diterapkan oleh masyarakat.

C.           Pengembangan Buah Matoa
Matoa (Pometia pinnata Frost) sebagai jenis pohon buah lokal Papua merupakan sumberdaya potensial yang harus dilestarikan dan ditingkatkan nilai manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Meskipun matoa sudah memberi kontribusi terhadap pendapatan masyarakat, namun kontribusi tersebut masih sangat kecil karena sejauh ini sebagian besar matoa yang dihasilkan berasal dari pohon yang tumbuh secara alami dengan pengelolaan yang masih sangat minimal. Untuk meningkatkan peran matoa dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mempromosikan matoa sebagai buah unggulan Papua diperlukan upaya pembudidayaan matoa secara intensif sehingga pohon yang ditanam produktif dengan buah yang berkualitas. Keberhasilan pengembangan suatu komoditas tanaman dipengaruhi oleh aspek ekologi tanaman yang dibudidayakan dan aspek sosial ekonomi pelakunya. Pohon matoa mempunyai range penyebaran yang cukup luas. Selain di Papua dilaporkan jenis pohon ini juga berhasil dikembangkan di beberapa daerah di luar Papua. Di Papua sendiri matoa terutama menyebar di seluruh wilayah bagian utara, namun pohon matoa yang produktif dengan buah yang berkualitas hanya dijumpai di daerah Jayapura. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun dapat tumbuh pada kisaran kondisi lingkungan yang cukup luas tetapi untuk dapat produktif berbuah dengan buah yang berkualitas pohon matoa membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik.  Masyarakat Papua sudah berinteraksi dan memanfaatkan pohon matoa secara turun-temurun. Selama proses interaksi dan pemanfaatan tersebut tentunya telah menumbuhkan pemahaman masyarakat terhadap berbagai aspek ekologi, pertumbuhan, dan tata cara pemanfaatan matoa. Agar teknik budidaya yang dikembangkan sesuai dengan nilai dan kapasitas pengetahuan masyarakat untuk menerapkannya maka teknik yang dikembangkan harus didasarkan pada nilai dan pemahaman tradisional masyarakat. Berkaitan dengan hal-hal tersebut guna menunjang keberhasilan pengembangan matoa sebagai buah unggulan lokal dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utamanya maka perlu dilakukan kajian tentang ekologi lingkungan pertumbuhan pohon matoa dan nilai sosial, ekonomi, dan pengetahuan lokal masyarakat dalam budidaya matoa. 

D.           Botani Buah Matoa dan Kandungan Khasiatnya
Matoa (Pometia sp) merupakan tumbuhan daerah tropis yang banyak terdapat di hutan-hutan pedalaman Pulau Irian (sekarang Papua). Secara umum diketahui terdapat 3 spesies pometia, yaitu P. pinnata, P. coreaceae, dan P. accuminata. Secara taksonomis klasifikasi matoa adalah :
Kingdom                     : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom               : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio                : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio                         : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas                           : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub-kelas                     : Rosidae
Ordo                            : Sapindales
Familia                        : Sapindaceae
Genus                          : Pometia
Species                        : Pometia pinnata J.R & G. Forst, Pometia acuminata, dan Pometia
coreaceae.
Dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama Matoa. Di tempat lain matoa dikenal dengan berbagai nama, yaitu Kasai (Kalimantan Utara, Malaysia, Indonesia), Malugai (Philipina), dan Taun (Papua New Guinea). Sedangkan nama daerah adalah Kasai, Kongkir, Kungkil, Ganggo, Lauteneng, Pakam (Sumatera); Galunggung, Jampango, Kasei, Landur (Kalimantan); Kase, Landung, Nautu, Tawa, Wusel (Sulawesi); Jagir, Leungsir, Sapen (Jawa); Hatobu, Matoa, Motoa, Loto, Ngaa, Tawan (Maluku); Iseh, Kauna, Keba, Maa, Muni, (Nusa Tenggara); Ihi, Mendek, Mohui, Senai, Tawa, Tawang (Papua).
Daerah Penyebaran Di Indonesia matoa (Pometia spp.) tumbuh menyebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Maluku, dan Papua (Sudarmono, 2001). Daerah penyebaran matoa di Papua antara lain di Dataran Sekoli (Jayapura), Wandoswaar – P. Meoswaar, Anjai – Kebar, Warmare, Armina, Bintuni, Ransiki (Manokwari), dan lain-lain. Tumbuh pada tanah yang kadang-kadang tergenang air tawar, pada tanah berpasir, berlempung, berkarang dan berbatu cadas. Keadaan lapangan datar, bergelombang ringan – berat dengan lereng landai sampai curam pada ketinggian sampai 120 m di atas permukaan air laut (Dinas Kehutanan DATI I Irian Jaya, 1976)
Habitus Matoa merupakan tumbuhan berbentuk pohon dengan tinggi 20 – 40 m, dan ukuran diameter batang dapat mencapai 1,8 meter. Batang silindris, tegak, warna kulit batang coklat keputih-putihan, permukaan kasar. Bercabang banyak sehingga membentuk pohon yang rindang, percabangan simpodial, arah cabang miring hingga datar. Akar tunggang, coklat kotor.
Matoa berdaun majemuk, tersusun berseling, 4 – 12 pasang anak daun. Saat muda daunnya berwarna merah cerah, setelah dewasa menjadi hijau, bentuk jorong, panjang 30 – 40 cm, lebar 8 – 15 cm. Helaian daun tebal dan kaku, ujung meruncing (acuminatus), pangkal tumpul (obtusus), tepi rata. Pertulangan daun menyirip (pinnate) dengan permukaan atas dan bawah halus, berlekuk pada bagian pertulangan. Bunga majemuk, bentuk corong, di ujung batang. Tangkai bunga bulat, pendek, hijau, dengan kelopak berambut, hijau. Benang sari pendek, jumlah banyak, putih. Putik bertangkai, pangkal membulat, putih dengan mahkota terdiri 3 – 4 helai berbentuk pita, kuning. Buah bulat atau lonjong sepanjang 5 – 6 cm, berwarna hijau kadang merah atau hitam (tergantung varietas). Daging buah lembek, berwarna putih kekuningan. Bentuk biji bulat, berwarna coklat muda sampai kehitam-hitaman. 
Perbanyakan Matoa pada umumnya dikembangbiakkan melalui biji (generatif). Biji matoa cepat kehilangan viabilitas setelah terpapar udara luar. Benih matoa tidak memiliki sifat dormansi dan akan segera mati beberapa hari setelah dikeluarkan dari buahnya atau jika dibiarkan terbuka (Widarsih, 1997 dalam Nurmiaty, 2006). Selama penyimpanan terbuka benih matoa mengalami pengeringan alami yang merupakan salah satu ciri benih rekalsitran, yaitu benih yang menghendaki penyimpanan dengan kadar air dan kelembaban tinggi sehingga benih tetap lembab dan enzim-enzimnya tetap aktif. Hasil penelitian Widarsih (1997) dalam Nurmiaty (2006) menyimpulkan bahwa penyimpanan secara alami (terbuka) menurunkan viabilitas benih yang ditunjukkan dengan menurunnya daya berkecambah, tinggi bibit, dan pertambahan tinggi. Penyimpanan secara alami selama 6 hari menurunkan daya berkecambah dari 72 % menjadi 19 %. Matoa juga dapat dikembangbiakkan secara vegetatif seperti cangkok, okulasi hingga teknik kultur jaringan. Untuk memperoleh jumlah bibit dalam jumlah banyak dan seragam serta untuk perbaikan sifat tanaman di masa mendatang, telah dilakukan penelitian perbanyakan tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Hasil penelitian Sudarmonowati, Bachtiar, dan A.S. Yunita (1995), menunjukkan bahwa kultur biji muda dan embrio matoa dapat tumbuh pada media MS yang mengandung kombinasi 4,0 mg/L BAP dan 0,5 mg/L NAA sehingga akan sangat bermanfaat dalam program konservasi karena biji muda dapat diselamatkan sebelum terserang hama. Pada kultur tunas samping, perpanjangan tunas terhambat karena pengkalusan, sedangkan kultur anter dapat menghasilkan embrioid dalam jumlah banyak.
Karakter Fenotip Buah Matoa Buah matoa berbentuk bulat oval dengan ukuran maupun warna yang beragam. Matoa papeda berukuran kecil dengan diameter 2,2 – 3 cm dan panjang 3 – 4 cm (rasio panjang/diameter 1,31). Kulit buah halus dengan warna saat masak hijau kekuningan, kuning, sampai merah kehitaman. Daging buah lembek, berwarna putih sampai kekuningan, dengan ketebalan bervariasi dari tipis sampai tebal. Buahnya manis dengan aroma yang khas. Daging buah ada yang terkelupas dan ada yang lengket di biji. Bentuk biji bulat, berwarna coklat muda sampai kehitam-hitaman. Buah bergerombol dalam tangkai buah. Tiap tangkai buah berisi 23 - 76 buah dengan berat berkisar antara 0,5 – 1,0 kg.
Matoa kelapa berukuran besar, dengan diameter 2,5 – 3,5 cm dan panjang mencapai 3,4 – 5 cm (rasio panjang/diameter 1,33). Kulit buah halus dengan warna saat masak kuning kehijauan (kelapa kuning) atau merah kekuningan sampai merah kecoklatan (kelapa merah). Dilaporkan ada juga matoa kelapa yang kulitnya tetap berwarna hijau meskipun sudah masak (kelapa hijau), tetapi saat penelitian pohonnya sedang tidak berbuah. Daging buahnya tebal, kenyal, kering, berwarna kekuningan. Rasanya manis, gurih, dan terkelupas dari bijinya. Bijinya lonjong agak gepeng, berwarna kecoklatan. Tiap tangkai buah berisi 16 – 62 buah dengan berat berkisar antara 0,3 – 1,5 kg.
Pemanfaatan Secara tradisional buah dan biji matoa oleh suku Genyem, Sentani, Amumen, Ekari dan Ayamaru dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Buah yang dapat dimakan adalah varietas kelapa, papeda, dan kenari. Biji matoa dapat dimakan setelah diolah. Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (rumah dan jembatan), mebel, ukir-ukiran dan alat pertanian (Sumiasri, Kuswara, dan Setyowati-Indarto, 2000). Biji, buah dan daun matoa (Pometia pinnata J.R & G. Forst.) mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol. Biji matoa berkhasiat untuk tonikum. Kulit batang matoa kemungkinan mempunyai sifat penghambat pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian Praptiwi dan Mindarti (2004) menunjukkan bahwa pemisahan ekstrak etil asetat kulit batang matoa dengan kolom kromatografi menghasilkan 12 fraksi yang mempunyai daya hambat terhadap 3 isolat bakteri uji yaitu Pseudomonas pseudommallei, Staphylococcus epidermidis dan Bacillus subtilis. Fraksi ke 10 mempunyai daya hambat pertumbuhan terbesar (21 mm) terhadap P. pseudomallei.

E.            Ekologi Tempat Tumbuh Tanaman
Setiap jenis tanaman membutuhkan lingkungan tumbuh tertentu untuk dapat tumbuh dan berkembang. Hukum Minimum Liebig menyatakan bahwa pertumbuhan dan/atau penyebaran suatu spesies tanaman tergantung pada satu faktor lingkungan kritis yang sangat dibutuhkan. Teori tersebut selanjutnya disempurnakan oleh Ronald Good menjadi Teori Toleransi yang menyatakan bahwa :
1) setiap spesies tanaman hanya dapat hidup dan berkembang biak pada kisaran
kondisi lingkungan tertentu.
2) kondisi lingkungan yang berpengaruh adalah iklim, tanah, dan biologis.
3) kisaran toleransi dapat luas untuk suatu faktor tetapi sempit untuk faktor yang
lain, dan kisaran toleransi tersebut dapat berubah sesuai dengan tingkat
pertumbuhan tanaman.
4) kisaran toleransi suatu tanaman tidak dapat dinilai berdasarkan kenampakan
orfologis, tetapi berkaitan dengan proses fisiologi yang hanya dapat diuji
melalui eksperimen.
5) kisaran toleransi dapat berubah melalui proses evolusi.
6) penyebaran relatif suatu spesies dengan toleransi dan faktor lingkungan yang
sama ditentukan oleh hasil kompetisi (atau interaksi biologis lain) antar spesies
(Barbour, Burk, dan Pitts, 1980). 
Variasi kondisi lingkungan tumbuh dan perbedaan kemampuan spesies tanaman untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan mengakibatkan terjadinya zona-zona penyebaran tanaman sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan tempat tumbuh dan kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap perbedaan tempat tumbuh. Semakin besar kemampuan suatu jenis tanaman beradaptasi terhadap perbedaan lingkungan tumbuh akan semakin luas penyebaran tumbuhnya, dan sebaliknya, semakin kecil kemampuan suatu jenis tanaman untuk beradaptasi mengakibatkan penyebarannya hanya terbatas pada habitat tertentu saja. Faktor lingkungan sebagai pembatas utama pertumbuhan dan perkembangbiakan tanaman adalah ilkim, tanah dan biologis. Faktor ilkim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah intensitas dan distribusi curah hujan, suhu, dan cahaya. Sedang faktor tanah yang berpengaruh adalah ketinggian tempat dan jenis tanah. Faktor biologis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman berkaitan dengan berbagai bentuk interaksi antara individu tamaman dengan individu tanaman yang lain maupun dengan berbagai satwa. Kemampuan beradaptasi suatu jenis tanaman terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang kurang sesuai dengan lingkungan tumbuh aslinya sampai batas-batas tertentu akan menimbulkan perubahan baik pada pola pertumbuhan maupun perkembangbiakannya. Perubahan pola pertumbuhan tanaman pada lingkungan tumbuh yang berbeda dapat terjadi pada laju pertumbuhan maupun penampilan morfologi tanaman (bentuk, ukuran, warna). Pada pola perkembangbiakan, perbedaan lingkungan tumbuh akan menyebabkan terjadinya perbedaan masa berbunga dan berbuah, produktifitas buah dan viabilitas biji, atau bahkan ketidakmampuan untuk berbuah meskipun berbunga (bunganya infertil).

F.            Budidaya Tanaman Matoa
Tanaman merupakan salah satu penghasil bahan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Peningkatan kebutuhan manusia atas berbagai hasil tanaman mengakibatkan ketersediaan dan kemampuan tanaman yang tumbuh secara alami tidak lagi dapat memenuhinya. Untuk mengantisipasi hal tersebut manusia dengan sengaja melakukan budidaya berbagai jenis tanaman yang dapat menghasilkan produk-produk yang dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. 
Dalam budidaya berbagai jenis tanaman tersebut manusia mengharapkan hasil yang lebih banyak dan lebih baik dibanding hasil yang diperoleh dari tanaman yang tumbuh secara alami. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia melakukan berbagai perlakuan terhadap tanaman yang ditanam dan lingkungan tumbuh di tempat menanamnya. Budidaya tanaman merupakan usaha manusia untuk memaksimalkan pertumbuhan dan hasil yang diinginkan dari suatu jenis tanaman melalui berbagai perlakuan pada baik pada tanaman yang ditanam maupun pada lingkungan tumbuh tempat penanamannya menggunakan teknik dan sumberdaya yang dikuasainya. Perlakuan pada tanaman dimaksudkan agar tanaman yang ditanam cepat tumbuh dan berproduksi, dimulai dari persiapan benih, pemeliharaan tanaman, sampai perlakuan hasil pasca panen. Sedang perlakuan pada lingkungan tumbuh dimaksudkan untuk menyediakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman melalui pengolahan tanah untuk menyiapkan tempat pertumbuhan perakaran, meningkatkan keharaan tanah, dan mengurangi terjadinya persaingan dengan tanaman lain maupun hama dan penyakit. Karakter Fenotip Buah Matoa Buah matoa berbentuk bulat oval dengan ukuran maupun warna yang beragam. Matoa papeda berukuran kecil dengan diameter 2,2 – 3 cm dan panjang 3 – 4 cm (rasio panjang/diameter 1,31). Kulit buah halus dengan warna saat masak hijau kekuningan, kuning, sampai merah kehitaman. Daging buah lembek, berwarna putih sampai kekuningan, dengan ketebalan bervariasi dari tipis sampai tebal. Buahnya manis dengan aroma yang khas. Daging buah ada yang terkelupas dan ada yang lengket di biji. Bentuk biji bulat, berwarna coklat muda sampai kehitam-hitaman. Buah bergerombol dalam tangkai buah. Tiap tangkai buah berisi 23 - 76 buah dengan berat berkisar antara 0,5 – 1,0 kg. Matoa kelapa berukuran besar, dengan diameter 2,5 – 3,5 cm dan panjang mencapai 3,4 – 5 cm (rasio panjang/diameter 1,33). Kulit buah halus dengan warna saat masak kuning kehijauan (kelapa kuning) atau merah kekuningan sampai merah kecoklatan (kelapa merah). Dilaporkan ada juga matoa kelapa yang kulitnya tetap berwarna hijau meskipun sudah masak (kelapa hijau), tetapi saat penelitian pohonnya sedang tidak berbuah. Daging buahnya tebal, kenyal, kering, berwarna kekuningan. Rasanya manis, gurih, dan terkelupas dari bijinya. Bijinya lonjong agak gepeng, berwarna kecoklatan. Tiap tangkai buah berisi 16 – 62 buah dengan berat berkisar antara 0,3 – 1,5 kg.
Nilai Ekonomi Pohon Matoa Secara tradisional masyarakat Papua mengenal dua jenis matoa untuk membedakan dan menentukan harga jualnya, yaitu matoa kelapa dan matoa papeda. Matoa kelapa merupakan matoa yang paling disukai dan memiliki harga yang mahal karena ukuran buahnya yang besar, rasanya manis dan daging buahnya tebal. Sebaliknya matoa papeda, disebut demikian karena daging buahnya tipis, lembek, berair, dan tidak terlalu manis, harganya tidak terlalu mahal. Pemasaran buah matoa dilakukan secara sederhana di pasar maupun di tempat-tempat penjualan buah musiman oleh pemilik pohon sendiri atau oleh pedagang yang membeli dan mengumpulkan buah dari pemilik pohon matoa. Harga jual buah matoa, sebagaimana buah musiman yang lain, berfluktuasi sesuai dengan ketersediannya. Namun dari tahun ke tahun harga buah matoa cenderung meningkat, dan saat ini berkisar antara Rp. 15. 000 – Rp. 30.000/kg untuk matoa papeda, dan Rp 50.000 – Rp. 75.000 per kg untuk matoa kelapa. Dengan produksi buah per pohon berkisar antara 100 – 200 kg, dan harga rata-rata di tingkat petani Rp. 10.000 – Rp. 50.000/kg, setidaknya petani pemilik pohon akan memperoleh Rp. 1.000.000 – Rp. 10.000.000/pohon/masa panen, tergantung umur pohon, produktivitas buah, dan harga buahnya.
Selain buahnya, beberapa bagian pohon matoa sangat potensial dikembangkan untuk berbagai manfaat. Dengan teknik pengolahan sederhana (dijadikan bubur) biji matoa dapat dijadikan sebagai bahan makanan. Kayunya tidak sekuat dan seawet spesies pometia yang lain, umumnya dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi ringan. Petani peladang di PNG mengumpulkan dan menggunakan seresah daun matoa sebagai mulsa untuk mempertahankan kesuburan ladang mereka. Air hasil rebusan kulit batang atau daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat demam dan keletihan. Kulit batang matoa diketahui mampu menyembuhkan luka bernanah. Diduga kulit matoa mengandung senyawa penghambat pertumbuhan bakteri.  Dengan berbagai manfaat yang dapat diambil dari pohon matoa tersebut pohon matoa mempunyai nilai sosial yang cukup tinggi bagi masyarakat Papua, terutama di Jayapura. Hal ini terlihat dari kebanggaan masyarakat atas pohon matoa yang dimilikinya. Kebanggaan masyarakat atas pohon matoa yang dipandang sebagai jenis buah lokal andalan merupakan modal sosial yang akan sangat menunjang pengembangan matoa sebagai buah unggulan di Papua. Dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi, kemudahan budidaya, dan adanya kebanggaan masyarakat atas pohon matoa, jenis ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai buah unggulan lokal.

G.           Periode berbunga dan berbuah
Pada dasarnya pohon matoa berbuah sepanjang tahun, meskipun tidak selalu banyak. Hal ini dikarenakan setelah buahnya habis cabang matoa akan bertunas dan berbunga kembali. Masa berbuah antar pohon dalam lokasi pertumbuhan yang sama bervariasi. Hal ini terlihat dari adanya pohon yang sedang berbuah, mulai dari beberapa tangkai sampai lebat, tetapi di lokasi yang sama juga ada pohon yang sama sekali tidak berbuah. Namun demikian terdapat dua musim berbuah serentak dalam satu tahun, yaitu bulan Maret dan bulan September. Bulan September merupakan puncak musim matoa di Papua.
Mulai berbunga sampai buahnnya dapat dipanen membutuhkan waktu antara 4 – 5 bulan. Bunga matoa berkelamin ganda, yaitu bunga jantan dan bunga betina bisa berada pada satu pohon yang sama. Penyerbukan silang (cross fertilization) dan penyerbukan sendiri (self fertilization) keduanya dapat terjadi pada satu pohon. Tangkai bunga tumbuh di ujung cabang. Bunganya majemuk, berbentuk corong,. Tangkai bunga bulat, pendek, berwarna hijau, dengan kelopak berambut. Benang sari pendek, banyak, berwarna putih. Putik bertangkai, pangkal membulat, putih dengan mahkota terdiri 3 – 4 helai berbentuk pita kuning. Masa berbunga pohon matoa tidak berhubungan dengan musim secara klimatik. Namun tinggi rendahnya curah hujan dan sering tidaknya hari hujan tampaknya berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan penyerbukan bunga dan kelebatan buah pohon matoa. Berdasarkan informasi pemilik pohon masa berbuah di bulan September umumnya pohon berbuah lebih lebat dari musim di bulan Maret. Data curah hujan bulanan pada Gambar 1 menunjukkan bahwa curah hujan pada periode masa pembungaan untuk musim berbuah bulan September (Mei – September) lebih rendah dibanding curah hujan bulanan pada periode masa pembungaan untuk musim berbuah bulan Maret (November – Maret). Meskipun tidak berpengaruh terhadap masa pembungaan, tinggi rendahnya curah hujan diduga berkaitan dengan tingkat keberhasilan proses pembuahan bunga. Semakin rendah curah hujan (dan hari hujan), proses pembuahan bunga semakin optimal sehingga buah yang dihasilkan semakin lebat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar